Opini tentang FOSS dan PELAJAR

panduaji

0 Comment

Link
Maraknya pembajakan software di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang menyumbang angka besar dalam hal ini adalah pendidikan. Bagaimana tidak, seluruh warga negara Indonesia wajib belajar 9 tahun. Namun kenyataannya berbeda, Anak sekolah mulai dari TK selama kurang lebih 2 tahun. Kemudian dilanjutkan di jenjang SD 6 tahun dan SMP 3 tahun. Bahkan hampir seluruh lulusan SMP melanjutkan ke jenjang SLTA selama 3 Tahun. Jadi total keseluruhan jadwal sekolah yang dialami seorang anak ada 13an tahun.


Dalam pendidikan 13an tahun tersebut, pasti seorang pelajar atau siswa mendapatkan pelajaran komputer. Tidak seperti dulu, sekarang siswa SD sudah mendapat pelajaran komputer, meski belum semuanya. Ambil contoh saja siswa SMP, mereka pasti mendapatkan pelajaran dasar komputer. Untuk kelas 1 SMP atau kelas VII saya mendapat pelajaran seputar Microsoft Word, sedangkan untuk kelas 2 atau VII saya mendapatkan pelajaran Microsoft Excel (teringat ketika harus menghafalkan fungsi-fungsi HLOOKUP, AVERAGE, dll). Untuk kelas 3 baru saya mendapat pelajaran tentang internet. Namanya juga pelajaran dasar komputer, tapi yang diajarkan malah CARA MENGOPERASIKAN produk MICROSOFT yang harganya mahal. Padahal ada software Open Source yang kualitasnya tidak kalah dengan software propietary. Apa mungkin guru tidak mengetahui alternatif tersebut?

Kita lihat sistem pendidikan, saya rasa tidak ada yang salah, karena pada SILABUS hanya tertulis “Mengoperasikan Perangkat Lunak Pengolah Kata”. SILABUS tidak menyebutkan nama softwarenya. Tidak ada yang mengharuskan menggunakan software propietary maupun open source. Contoh kasus diatas, secara tidak langsung akan meracuni pikiran siswa, mereka hanya mengetahui produk microsoft dan kroninya dan buta akan open source.

Sebagian besar guru yang menjadi fasilitator dari pelajar tidak pernah menginformasikan kepada siswanya harga software yang mereka gunakan, atau jangan-jangan guru tidak mengetahui harga software yang mereka wajibkan pada siswa dalam mengerjakan tugas. Bahkan tidak menutup kemungkinan guru juga tidak mengetahui bahwa crack itu merupakan sebuah pembajakan layaknya pelajar pada umumnya. Mungkin disini merupakan salah satu sisi dunia pendidikan yang harus diperbaiki.

Di sini Open Source Software menjadi solusi dalam dunia pendidikan untuk tidak mengajarkan membajak. Namun para GURU hanya sedikit yang mempertimbangkan hal tersebut. Banyak yang pelajar yang belum pernah mencoba bahkan mengetahui tentang software open source ini. Pada awalnya Open Source identik dengan linux, coding dll. Aku sendiri baru pertama kali mencoba linux pada akhir kelas XI. Varian linux yang aku coba untuk pertama kalinya adalah edubuntu yang terinstall pada komputer milik Irene saat magang. Saya tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika menggunakannya. Saat itu aku hanya kebingungan mencari ekstensi .exe untuk menjalankan aplikasi. Darisitu aku baru tahu bahwa ekstensi aplikasi di linux berbeda dengan windows yang memiliki ekstensi .exe. Untuk GUI (Graphic User Interface), saya tidak mengalami kesulitan, karena mirip dengan windows. Saat itu aku tanya pada Irene kenapa nginstall edubuntu. Dan jawabannya sama dengan jawaban guruku yang belakangan ini juga menggunakan ubuntu sabily, yaitu sudah bosan berurusan dengan virus.

Dari seluruh sekolah di Indonesia, coba hitung berapa sekolah yang menggunakan FOSS. Meskipun saya tidak tahu secara pasti, namun sudah bisa ditebak bahwa sekolah yang menggunakan FOSS sangat sedikit. Kebanyakan guru sudah terlatih dalam mengoperasikan software-software propietary tanpa memahami konsepnya. Sehingga jika ingin mempelajari software baru, berarti harus belajar software tersebut dari nol. 

Di Surabaya, ada sebuah sekolah swasta bertaraf internasional yang pernah saya datangi bersama rekan dari FBI (Forum Blender Indonesia). Di Lab komputer mereka terinstal PC Linux 3D sebagai sistem operasi. Ketika saya bertanya kepada kepala sekolah mengapa menggunakan linux ternyata jawabannya di luar dugaan saya. Mereka ingin menyeragamkan kemampuan siswa, sehingga dalam pelajaran komputer tidak ada yang menonjol, siswa belajar komputer lagi dari nol. Berbeda jika mereka menggunakan Windows, sudah bisa dipastikan beberapa dari siswa akan memiliki kemampuan yang lebih menonjol.

Pelajar dan Linux

Banyak pelajar yang tidak mengetahui apa itu linux, bahkan siswa SMK jurusan TI. Pernah saat akan presentasi finalis lomba majalah digital yang diadakan dalam rangka Komputexpo di Grand City Mall Surabaya, ada sekumpulan anak SMK yang heran melihat tampilan desktop saya. Bahkan ada dari mereka yang mengatakan itu MAC. Padahal laptop Toshiba pinjaman dari sekolah itu hanya terinstal Ubuntu Karmic Koala 9.10 (di teman-temanku lebih dikenal dengan Ubuntu Karmila) dengan beberapa efek dari compiz.

Namun tidak semua pelajar buta akan open source seperti kasus diatas. Karena tidak sedikit juga pelajar yang membentuk komunitas open source di sekolah mereka. Seperti SALITY (Semkanisa Linux Community), sebuah komunitas open source yang “ilegal” di sekolah. Pernah mendapat teguran dari guru, karena menggunakan logo sekolah dalam pembuatan logo Sality. Ada juga beberapa komunitas open source yang didukung oleh sekolah dan menjadi sebuah komunitas yang resmi.

Saya sendiri baru total menggunakan linux pada desember 2009. Tidak ada masalah dengan tugas sekolah. Ketika tugas akhir jurusanku membuat sebuah company profile juga tidak bermasalah dengan software-software open source. Sebelum lulus sekolah sudah banyak teman-temanku yang beralih menggunakan linux Ubuntu. Sebagian besar dari mereka tertarik menggunakan Ubuntuk lantaran mereka senang melihat tampilan dari ubuntu yang dilengkapi dengan compiz. Adikku pun sekarang lebih suka menggunakan Ubuntu daripada windows. Karena GUI windows terlihat kaku daripada ubuntu.

Tags:

Share:

Related Post

Leave a Comment