Hello! Aku baru saja melakukan perjalanan seorang diri (baca solo traveling) ke salah satu Kabupaten yang tidak terlalu terkenal, yaitu Pacitan! Sebuah kabupaten di pojok jawa timur yang berbatasan langsung dengan Jawa Tengah. Ketika saya sekolah di SMK N 1 Surabaya, banyak teman yang mengira Pacitan adalah bagian dari Jawa Tengah.
Perjalanan ini aku mulai pada hari Selasa, 10 Pebruari 2015! Sebenarnya traveling merupakan agenda sampingan dimana sebenarnya tujuan utama datang ke Pacitan adalah untuk nglayat / ta’ziah adik dari nenek yang beberapa waktu lalu berpulang. Sekalian jalan-jalan lah.
Lorok, Tujuan Utama Perjalananku
Lorok atau biasa dikenal dengan Kec. Ngadirojo di Kab. Pacitan ini merupakan tujuan utama. Sebuah daerah kelahiran Ibuku yang juga menjadi tempatku menjadi cah ndeso selama 3 tahun saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Nantinya, aku akan mencoba bercerita banyak tentang kehidupan di sini ketika aku masih SMP.
Lorok ini seperti dataran rendah diantara pegunungan. Tidak begitu luas, letaknya pun diapit berbagai macam gunung yang aku sendiri enggak tahu namanya apa. Silakan lihat peta di bawah ini untuk mengetahui dimana lokasi Lorok / Ngadirojo di Pacitan.
Aku berangkat seorang diri naik kendaraan roda dua (baca: sepeda motor) dengan rute Blitar – Tulungagung – Trenggalek – Panggul – Lorok. Meski ada kendaraan umum bis yang bisa mengantarkan ke tempat ini, namun aku pilih naik motor. Karena apa? Bis terakhir dari Trenggalek ke Lorok jam 1 siang, selain itu aku enggak bisa berhenti seenaknya untuk mengambil gambar. Tidak sampai disitu, di Lorok tak ada kendaraan yang bisa aku pakai seenaknya. Demi kenyamanan aku pilih bawa kendaraan sendiri 😀
Perjalanan Blitar – Trenggalek yang Membosankan!
Entah kenapa aku enggak ada niatan sama sekali menceritakan perjalanan dari Blitar ke Trenggalek yang menurutku benar-benar membosankan! Bagaimana tidak? Lha wong jalan cuma lurus terus ngikutin jalan. Tak ada pemandangan yang menarik untuk di ceritakan selain hamparan sawah hijau yang sangat luas di kanan dan kiri jalan. Entah kenapa tak semenarik cerita di jalan berliku.
Oh ya, saya sempat menghitung berapa kali saya jalan saya harus dipotong jalan kereta api. Setidaknya dari Blitar menuju Tulungagung yang hanya sekitar 30an km, jalan dipotong oleh 5 perlintasan kereta api yang sama. Sempat jadi pertanyaan juga sih, sebenarnya ini yang mbulet jalan raya atau rel kereta apinya?
Perjalanan yang kumulai sekitar pukul 10.30 dari Blitar ini menghabiskan waktu sekitar 80 menit untuk mencapai daerah Karangan Trenggalek dimana aku harus berbelok menuju jalan yang berliku.
Perjalanan Penuh Nostalgia
Setelah berbelok di daerah Karangan Trenggalek menuju Panggul saya teringat masa lalu ketika bersama keluarga hendak pergi ke Lorok, namun batal karena mobil yang kami tumpangi mogok. Akhirnya memberikanku pengalaman pertama menginap di hotel / penginapan :D. Hotel tempatku menginap semalam itu adalah Hotel Widowati yang terletak di pojokan setelah masuk Kota. Aku ingat waktu itu untuk 1 malam harga sewanya hanya 35 ribu rupiah. Untuk sebuah kamar dengan double bedroom dan kamar mandi dalam :D.
Aku juga teringat beberapa titik dimana mobil mogok, dimana mobil berhenti lama karena terlalu banyak kejadian mogok kala itu. Meski banyak yang sudah berubah, tapi memori dalam ingatan ini masih bisa mengingat titik titik penuh kenangan itu. Tidak hanya itu, dulu kami sekeluarga juga seringkali membawa bekal untuk di nikmati di area hutan pinus / persawahan yang kami lewati.
Perjalanan Berliku yang Seru
Perjalanan berliku ini dimulai dengan tanjakan yang tidak begitu ekstrim. Oh ya, sekarang jalannya sudah enak lho, sudah lebar dan enggak serusak dulu. Tidak heran jarak tempuh bus dari Trenggalek ke Lorok cuma butuh waktu sekitar 3 jam. Berbeda dengan dulu yang bisa sampai 4 – 5 jam. Sepeda motor pun 2 jam sudah bisa sampai. Ini salah satu gambar yang aku ambil di daerah awal tanjakan dimulai. Tampak bekas gunung yang digaruk dengan eksavator sebagai tumbal pelebaran jalur lintas selatan ini.
Awal Jalan Tanjakan Pegunungan Trenggalek
Setelah itu aku melewati hutan pinus dan pemandangan yang cukup keren menurutku. Sayangnya kameraku enggak bisa menangkap apa yang aku lihat dengan mata telanjang , jadi enggak aku upload di sini. Cuma foto keren yang bakalan di upload di postingan-postingan perjalanan ini :D. haha
Hingga akhirnya aku tiba di daerah Puncak. Begitu tulisan yang aku temui di jalanan. Di daerah Puncak Trenggalek (sebutanku) ada sebuah stasiun pemancar televisi (TVRI) dimana merupakan titik tertinggi di daerah Trenggalek. Siang itu pemandangan cukup keren ada di salah satu spot. Berikut foto penampakannya!
puncak trenggalek di siang hari
Kok gambarnya square? Iya lah, lha wong ini postinganku di instagram. Makanya follow instagramku @ndundupan buat foto-foto keren di sekitarku. Promo dikit, siapa tau followernya nambah :D.
Buat orang sekitar terutama petani mungkin aku terlihat aneh dan uwalay, berhenti di pinggir jalan buat moto-moto gak jelas meski memang aku harus akui kalau aku ngambil foto itu pakai hape motorola moto g. Dari puncak trenggalek yang cukup dingin aku lanjutkan perjalanan ke Dongko dan memutuskan untuk istirahat sebentar karena aku butuh charger untuk cas kamera biar bisa moto lagi di perjalanan. Biar enggak pakai motorola moto g lagi.
Singgah di Daerah Dongko
Aku mampir di rumah salah satu saudara yang tidak jauh dari SMP N 1 Dongko. Niatnya sih mau ngecas kamera sejam dua jam gitu. Ternyata setelah sampai di rumah saudara sedang terjadi mati lampu. Kecewa berat! Setelah hampir satu jam akhirnya listrik sudah menyala dan aku bisa ngecas kamera :D.
Sambil menunggu kamera di charge, datanglah sebuah nasi bungkus yang dibawakan oleh sepupuku. Dengan lauk ayam lodho yang pedes ukur-ukur lumayan membuat kekenyangan karena porsinya memang besar. Aku sengaja enggak foto nasi bungkusnya karena biar enggak kelihatan norak, nasi bungkus aja di foto :D.
Perjalanan Panggul – Pacitan
Setelah cukup istirahat dan kamera dapat dua bar charge akhirnya saya putuskan untuk segera berangkat lagi. Aku mungkin cukup beruntung karena hujan tak jadi singgah di perjalananku. Meski gunung depan rumah saudara sempat hilang tak terlihat karena awan yang gelap menyelimutinya. Akhirnya awan tersebut kembali hilang dan menampilkan pemandangan gunung. Ini tandanya hujan di gunung sudah selesai dan tidak mengarah ke ruteku. Alhamdulillah.
Karena kalau hujan bawaannya males terus buat berhenti dan pengen cepet sampai di tujuan akhir yang tidak terlalu jauh. Dari daerah Dongko ke Panggul menghabiskan waktu sekitar 30 menit. Panggul meruapakan salah satu dataran rendah yang ada di area pegunungan ini. Panggul memiliki pemandangan yang cukup bagus karena terdapat hamparan sawah yang luas. Sebelum masuk kecamatan Panggul terdapat terasiring yang cukup keren kalau dilihat dengan mata. Sayang kamera digitalku tak mampu menangkap keindahan ini.
Terasiring di dekat Panggul
Ketika tiba di Panggul, Aku sempat berhenti dan mengambil gambar persawahan di dekat jembatan panggul yang kini bisa dilalui 2 arah secara bersamaan. Hamparan sawah luas nan hijau begitu menyejukkan mata. Entah kenapa sensasinya berbeda dengan sawah yang kulewati di daerah Tulungagung :D.
hamparan sawah di panggul
Lagi – lagi keterbatasan kamera digital yang tidak bisa menangkap keindahan yang tertangkap oleh mata. Dari Panggul, jarak ke Lorok tidak begitu jauh, membutuhkan sekitar 30 – 40 menit saja, berbeda dengan dulu yang bisa mencapai waktu satu jam perjalanan, bahkan lebih.
Diatas daerah Panggul sebenarnya aku bisa melihat pantai Pelang, sebuah pantai yang cukup terkenal di daerah ini. Namun karena malas berhenti, akhirnya saya putuskan terus melanjutkan perjalanan hingga kecamatan selanjutnya yang sudah masuk daerah Kab. Pacitan. yaitu kecamatan Sudimoro atau biasa disebut dengan mbawur. Entah darimana sebutan itu, mungkin mirip dengan sebutan Lorok untuk Kec. Ngadirojo.
Menikmati Kemegahan PLTU di Perbukitan dengan Secangkir Kopi Hitam
Kec. Sudimoro kini memiliki daya tarik selain pantai yang cukup elok, yaitu PLTU. Sebuah pembangkit listrik tenaga uap ini belum beroperasi lama ini menjadi salah satu ‘berhala’ untuk siapapun yang melintas. Puncak – puncak perbukitan kini banyak tersedia warung-warung yang menyediakan makanan dan minuman ala kadarnya. Warung-warung ini laris karena menjual pemandangan PLTU yang sangat megah untuk daerah Pacitan dan sekitarnya.
Pemandangan PLTU dari warung
Kalau berjalan sedikit keluar warung, siapapun bisa melihat kemegahan sebuah PLTU yang berada di pantai selatan. Berikut penampakan PLTU yang daridulu juga tetap gini saja namun entah kenapa tetap menarik untuk disinggahi dan diliat untuk sementara.
PLTU Pacitan
Meski baru saja istirahat di Dongko yang jaraknya tidak sampai 1 jam perjalanan, saya putuskan untuk memesan secangkir kopi hitam sebagai syarat biar pantes berhenti di warung sambil menikmati hawa dingin pegunungan. Sendirian! Iya sendiri!
Secangkir kopi menemani kesendirian
Mungkin mbak penjaga warung ini sedang melihat pahitnya kesendirianku, jadi dibuatkanlah secangkir kopi hitam yang benar-benar manis. Harga untuk secangkir kopi hitam ini cuma dua ribu rupiah. Setelah bersantai sejenak akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan yang tidak sampai 30 menit menuju Lorok / Kec. Ngadirojo.
Akhirnya aku sampai di rumah nenek yang berada di Lorok sekitar pukul 15.00. Entah kenapa setiap datang ke sini, aku enggak pernah merasa capek. Selalu pengen keluar untuk jalan-jalan atau kemana gitu.
Mungkin efek masa kecil yang tidak pernah main jauh ketika tinggal di sini. Dan kini sudah mulai suka dengan keindahan alam tanpa settingan.
Perjalanan masih baru saja dimulai, aku bakalan update lanjutan cerita ini, pastikan tetep nyambung dengan postingan yang di belakangnya ada hastag #LintasSelatan karena perjalanan ini aku namai dengan LintasSelatan 😀
Leave a Comment