Bercengkrama dengan Kawan Lama

panduaji

0 Comment

Link
Selepas lulus sekolah menengah pertama di Pacitan, aku melanjutkan ke sekolah menengah kejuruan di Surabaya. Meski cuma tinggal di Pacitan selama 3 tahun, aku dapat banyak sekali pelajaran berharga selama tinggal di desa. Seenggaknya aku sudah pernah merasakan benar-benar menjadi anak desa dengan kehidupan yang seru.

Tahun ini tepat sewindu aku meninggalkan desa ini. Aku sempat bertemu dengan beberapa teman dan bener-bener ngobrol agak serius. Bahkan dengan seorang kawan yang terkenal selengekan di jamannya. Nggak nyangka lho, ternyata dia sering baca blogku. Ini yang bikin speechless, karena orang yang cukup dekat denganku aja belum tentu baca. Oh iya, nama panggilannya dulu Ayok.

Dari Ayok kudapatkan alamat seorang kawan yang cukup unik di sekolah dulu. Ayok cerita cukup banyak tentang Nur yang terkenal unik dulu. Karena penasaran, aku pun berjanji pada diri sendiri #ea untuk datang dan langsung ngobrol dengan si Nur.

Menikmati JLS

Meski sudah beberapa kali melalui JLS, enggak ada bosennya sih main ke JLS. Pagi itu aku iseng aja sih, pakai helm untuk menikmati pagi di kawasan pantai JLS. Karena udah pakai helm, akhirnya kuputuskan untuk lanjut ke Pacitan Kota dan pulangnya lewat jalur Tulakan.
Enggak ada sesuatu istimewa ketika lewat JLS, pagi itu masih sangat sepi banget. Mungkin efek puasa dan liburan sekolah. Perjalanan santai dari Ngadirojo ke Pacitan melalui JLS membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Kalau mau ngebut sih, 30 menit bisa sampai.
Sebenarnya cukup kecewa perjalanan pagi itu, karena sekarang enggak musim tanam padi. Sawah-sawah tampak gersang enggak terlalu bagus untuk dilihat, termasuk terasiring yang biasanya kelihatan epic. Mungkin nanti kalau mau jalan-jalan kudu pas musim tanam.
Sesampainya di Pacitan, aku enggak tau mau kudu main kemana, akhirnya kuputuskan untuk menikmati pagi di sekitar aloon-aloon kota Pacitan. Jalanan cukup padat sebelum melintasi jembatan, karena memang ada pasar. 
Jembatan Sungai Grindulu
Jembatan Sungai Grindulu
Sesampainya di Aloon-aloon, ternyata keadaan benar-benar sepi. Tidak ada aktivitas apapun. Hanya tampak beberapa orang yang berolahraga. Jumlahnya pun bisa dihitung dengan jari. Padahal jam sudah menunjukkan sekitar pukul 07.00 pagi lho.
Aloon Aloon Pacitan
Aloon Aloon Pacitan
Setelah bosen karena enggak ada orang yang bisa diajak ngobrol, akhirnya kuputuskan untuk keliling kota sambil ngapalin jalan. Karena selama 3 tahun tinggal di sini, enggak pernah keliling kota Pacitan. Bahkan pergi ke Pacitan kota cuma 3 kali saja.

Pulang Melewati Jalur Tulakan

Karena cukup bosan dengan JLS, akhirnya kuputuskan untuk kembali melalui jalur lama, yaitu Tulakan. Sekalian aku mau mampir tempat seorang kawan lama yang kudapatkan dari Ayok. Ternyata jalur Tulakan pun sudah dilebarkan dan diperbaiki. Cukup mudah untuk dilewati dan sudah banyak rumah di tepi jalan. Aku pun bisa melihat kegiatan warga yang mulai beraktivitas. Kupacu kendaraan di kecepatan 60km/jam untuk menikmati suasana pagi di jalanan berkelok yang luas dan sepi.
Jalanan berkelok di Pacitan
Jalanan berkelok di Pacitan
Setelah hampir setengah jam, ternyata aku sudah dekat dengan kawasan Nur. Akhirnya kuputuskan untuk mampir sekalian ngobrol bentar. Akhirnya kutemukan sebuah kios di pinggir jalan yang dimaksud oleh Ayok. Aku pun berhenti dan melihat seorang pemuda yang seumuran sedang duduk berkutat dengan buku catatanya.
Ketika kusebut namanya, dia tampak kebingungan karena memang benar-benar enggak ingat aku :D. Aku pun langsung sok misterius.

Cerita Tentang Sebuah Pilihan

Bertemu Kawan Lama
Bertemu Kawan Lama
Ada sebuah moment yang membuatnya ingat padaku, Momen tersebut tidak lain adalah ketika aku memberikannya contekan saat Ujian dulu :D. Mungkin memang tidak heran banyak yang tak mengenali aku. Dulu aku seorang anak kecil kerempeng sekarang menjadi sosok yang agak chubby :D.
Aku teringat jawaban dari Nur ini ketika Bu Ida, guru Bahasa Indonesia di kelas VII C bertanya kepada siswa. Apa cita-citamu?
“Kondektur Bis” Jawabnya tanpa ragu.
Sontak, anak-anak di kelas yang tertawa termasuk aku. Nur pun cuma senyum-senyum tanpa dosa. Mungkin ini jawaban yang juga tidak diharapkan oleh seorang guru Bahasa Indonesia. Aku lupa ada percakapan apa setelah itu.
Setelah lulus SMP pun, Nur tidak melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Ia pun langsung meraih cita-citanya. Ya, dia bekerja sebagai kondektur Bis jurusan Lorok – Pacitan setelah lulus SMP. Setidaknya itu cerita yang kudengar beberapa tahun lalu, Nur berhasil meraih cita-citanya.
Kini Nur sudah punya kios sendiri di pinggir jalan raya. Toko kelontong dengan banyak hal yang dijiual, terutama kebutuhan sehari-hari. Aku makin penasaran bagaimana ia bisa membuka toko kelonotong ini. Akhirnya aku pun dapat cerita langsung dari dirinya.
Ketika lulus SMP, ia memang menjadi kondektur bis jurusan Lorok – Pacitan. Dia memutuskan untuk menjadi kondektur bukan karena paksaan, kepepat atau alasan yang lain, tetapi karena ia memang benar-benar suka dengan pekerjaan itu.
Setelah menjalani selama 1.5 tahun, akhirnya dia pun memutuskan berhenti menjadi kondektur bis. Karena sudah tidak mendapatkan lagi kesenangan seperti yang ia alami awalnya. Semenjak itu ia pun akhirnya membuka kios kecil-kecilan di pinggir jalan raya yang berkembang seperti sekarang ini.
Menikah tahun 2012 dan dikaruniai seorang anak membuatnya menjadi seorang ayah. Dia pun tidak punya kegiatan lain selain menjaga toko, melayani pembeli dan kulakan berbagai macam barang yang ia jual di kiosnya.
Aku pun ingat jalan cerita yang ada di film UP. Ketika kamu sudah berhasil meraih mimpimu, selanjutnya apa? Akankah kamu mengejar mimpi yang lain atau hanya menikmatinya saja? Karena memang hidup adalah pilihan.
Karena semakin banyak pembeli yang datang dan pergi, akhirnya kuputuskan untuk berpamitan. Enggak enak kalau ngobrol dipotong-potong terus. Akhirnya aku pulang dengan hati yang cukup senang. Selain telah berhasil menepati janjiku untuk datang bertemu langsung, aku punya cerita untuk kurenungi.

Tags:

Share:

Related Post

Leave a Comment