Idealisme Pelajar Pertelevisian (?) – Teringat sebuah statement dari dosen “Sebagai mahasiswa broadcasting / pertelevisian, kalian mau tidak mau ya harus suka menonton televisi”. Maafkan saya pak, karena sampai saat ini saya masih belum bisa menyukai televisi. Karena televisi yang ada memang tidak sesuai dengan apa yang saya inginkan. Acara-acara yang ada benar-benar buruk, khususnya televisi lokal yang bisa diakses gratis dengan modal antena dan televisi.
Acara-acara yang ada bagaikan kumpulan racun yang siap meracuni pikiran siapa saja yang tidak waspada. Seperti berita infotaiment yang gak penting banget, orang bangun tidur aja di syuting dan disiarkan sedemikian rupa. Apa pentingnya coba mengetahui seorang artis yang sering mbangkong (baca: bangun siang)?
Belakangan sedang marak jualan penderitaan orang yang dikemas dalam bungkus ibadah maupun sosial. Dan bisa dipastikan acara jualan penderitaan orang tersebut mendapat untung yang amat besar, jika dibandingkan dengan pengeluaran produksinya. Tampak dari banyaknya acara serupa yang tayang pada prime time dan banyak sekali iklan saat acara.
Ilustrasi Pelajar Pertelevisian |
Berita di televisi pun tak ada yang menarik buat saya, setiap hari yang ditayangkan adalah berita-berita negatif, mulai dari pembunuhan, pencurian, perampokan dan yang lain. Kalaupun ada, berita positif sangat sedikit sekali porsinya, dan belum tentu ada setiap hari. Karena mungkin sampai saat ini media masih tetap memegang teguh “bad news is good news“.
Namun akhir-akhir ini saya sering melihat televisi premium seperti HBO, FOX, HBO Family, dsb. Ketika saya menonton acara-acara yang disuguhkan, saya tidak merasa sedang menonton televisi. Tapi saya merasakan sensasi menonton DVD.
Selain itu tiap saluran memiliki fokus acara, seperti Natgeo wild yang berisi tentang hewan-hewan buas, HBO Family yang menyiarkan film-film untuk konsumsi keluarga, seperti Harry Potter yang beberapa hari lalu saya tonton.
Saya kembali merenungkan apa yang dikatan dosen saya. Banyak pertanyaan yang terngiang dalam pikiran. Apakah saya harus benar-benar suka televisi, khususnya yang ada di Indonesia karena saya kuliah di jurusan broadcasting? Padahal sebenarnya saya tidak suka dengan siaran-siaran televisi di Indonesia. Apakah tidak cukup dengan menonton DVD atau televisi premium.
Salahkah jika standard televisi yang saya tentukan sendiri setara dengan televisi kabel / premium? Seperti apa yang diceritakan adik saya saat menjalani test wawancara di salah satu institut negeri di Jogja beberapa hari yang lalu. Sepertinya tidak salah apabila memilih untuk mengambil standard televisi premium / kabel untuk televisi lokal.
Mungkin banyak pakar atau siapapun yang sudah terjun di dunia broadcast menganggap ini gila. Tidak realistis. Ya memang saya tidak mikir muluk-muluk, cuma ingin sebuah hiburan berkualitas yang tayang di televisi rumah-rumah. Tidak mau ambil pusing dengan pemasukan stasiun televisi. Mungkin ini salah satu idealisme seorang pelajar pertelevisian?
Seperti kata Gie,
Lebih Baik Terasing daripada menyerah pada kemunafikan.
Salam
Pandu Aji Wirawan
Leave a Comment