Situasi ini seperti melahirkan sebuah paradoks: kita tidak mau dibajak malah menggunakan karya bajakan. Berani taruhan, sebagian besar desainer yang menggunakan software bajakan punya kendala yang sama: harga software asli yang naujubilah mahalnya! Tapi tentu hal ini tidak bisa dijadikan pembenaran bagi desainer untuk terus memakai software bajakan. Lalu bagaimana solusinya? Dalam kasus ini, software berbasis open source mungkin bisa jadi jawaban.
Banyak nilai plus yang membuat open source design software menjadi pilihan. Pendiri Komunitas Blender Indonesia, Hiza Ro, berpendapat software open source bisa dijadikan solusi karena faktor ekonomis irit. “Selain itu, banyak aplikasi open source yang tidak memakan space di HD, sehingga tidak perlu menyisihkan 100MB untuk dapat dipasang di sistem. Semua file open source bisa dibuka di semua platform dan semua rilis. Jadi tidak perlu menyimpan dengan format berbeda setiap akan dibuka di tempat lain. Buat saya ini cerdas,” papar lelaki yang juga mendirikan Hizart Studio ini.
Selain Hiza, Edy Surachman, seorang animator freelancer asal Jakarta, juga menyoroti soal biaya. “Selain gratis dan bisa memotong biaya pembelian dan royalty software berbayar, sesuai dengan istilahnya, software open source bebas kita modifikasi dan diutak-atik source code-nya untuk dibuat sesuai selera dan kebutuhan kita.”
Sementara itu, seorang CONCEPT Citizen – nama keren penggemar CONCEPT di Facebook – menulis, “masak sudah susah-susah cari uang dari software tertentu yang ternyata masih bajakan akhirnya malah jadi duit haram. Nggak barokah ntar rejekinya. Masak tega juga memberi makan aniak istri dengan duit haram” Begitulah jeritan keprihatinan Pandu Aji Wirawan, Post Production dan Special Effect di Qupic Animastudio Surabaya. Komentar ini senada dengan Edy, yang berpendapat masalah legalistas dan kebebasan berkarya merupakan alasan utama, “Sayang sekali jika karya yang kita buat bagus tapi tidak bisa dipublikasikan hanya karena pekai software bajakan yang menimbulkan ketakutan tersendiri terhadap legalitas.”
Menanggapi keraguan terhadap kualitas karya yang dihasilkan dengan open source, Johantri, Animator 2D di IFW Batam, berkomentar, “Seorang CG Artist berpengalaman yang menggunakan software open source atau freeware akan tetap bisa menghasilkan karya yang lebih bagus dibandingkan seorang pemula yang memiliki software berbayar yang original. Artinya, semua kembali kepada mau atau tidaknya orang belajar dan mencari pengalaman kemudian mengembangkannya. Bukan karena ia menggunakan alat mahal sehingga karyanya jadi bagus. Istilahnya, bad workman blames his tools.” Hiza pun sependapat dengan komentar ini. Seraya menambahkan bahwa jam terbang juga punya peranan. “Soal teknis saya kira bisa dikuasai dalam waktu cepat.”
Baik Hiza, Edy maupun Johan menilai selama ini klien tidak pernah ceriwis soal software yang digunakan desainer. Menurut mereka, klien kebanyakan melihat hasil, bukan prosesnya. “Mereka tidak peduli kita memakai software apa. Yang penting, pekerjaan bagus dan tepat waktu.” ujar Johan bersemangat. Untuk software, Johan menggunakan Ubuntu 9.10, Blender 3D. GIMP, Inkscape, Fspot dan UFRaw (untuk fotografi). Sementara Edy memakai Blender, Virtualdub, The GIMP, MyPaint, Sodipodi dan Inkscape. Hiza juga mengaku menggunakan Ubuntu Linux 9.10, GIMP, Photoscape, KRITA, Inkscape, MyPaint, Blender, Audacity dan LMMS (Linux Multimedia Studio-Software)
Dibajak memang menjengkelkan dan bisa membuat hati panas. Tapi menggunakan bajakan juga bukan pilihan yang bijak. Jika dompet belum cukup tebal untuk membeli software desain berbayar yang orisinal, software open source bisa jadi pilihan yang layak dijajal.
Leave a Comment